BATÈË ILIËK BENTENG TERAKHIR PEJUANG ATJEH MELAWAN KOLONIAL BELANDA & KISAH TEUNGKU SYIEK KUTA GLE ULAMA PEJUANG.


Sumber Foto : KITLV & Tropenmuseum

Udara di sekitar sungai batèe Iliëk dan lereng bukit terasa sejuk dengan panorama alam yang mempesona.
Di tengah keindahan alam dan keceriaan orang yang berwisata dan mandi di sana, banyak orang yang tidak mengetahui bahwa pada masa Perang Kolonial Belanda di Aceh, sungai tersebut pernah berubah warna menjadi merah. Warna merah darah tentara kolonial Belanda yang menjadi korban dari pasukan Aceh yang gagah berani.

Gampong yang berada di bantaran Sungai Batee Iliek merupakan benteng terakhir pertahanan Kerajaan Aceh dalam menghadapi gempuran dari pasukan kolonial Belanda. Penaklukan atas daerah ini menjadi akhir dari perang Kolonial Belanda di Aceh yang dimulai tahun 1873 dan berakhir pada 1904.
Bukit Kuta Gle yang berada di hulu Sungai Batee Iliek, terlihat dari arah pemandian, menjadi saksi bisu keberanian dan kegigihan rakyat Samalanga dalam mempertahankan daerahnya.

Pasukan Belanda mulai datang ke Samalanga pada tahun 1877 dengan jumlah serdadu sebanyak 1.350 orang. Terdiri atas tiga batalion dan masing-masing batalion terdiri atas tiga kompi dengan jumlah serdadu 450 orang per kompi. Sejumlah alat persenjataan canggih dan kapal didatangkan ke Samalanga seperti Watergeus, Citadel van Antwerpen, Metalen Kulis, dan masih banyak yang lain. Mereka geram dan marah karena rakyat Aceh tak mau menyerah dan terus melakukan perlawanan kepada Pemerintah Kolonial Belanda (Jules Garnier 1887).

Selain Uleebalang, perjuangan rakyat Samalanga juga dipimpin oleh kelompok ulama karismatik yang mengobarkan Perang Fisabilillah. Salah satunya adalah Teungku Syiek Kuta Gle yang diceritakan dalam sebuah penggalan syair :
"Teungku Cut Sa’id yang ato prang, ato rakan kameuteuntee
Dalam kuta gle yang that meuceuhu, Yang to bak u dum meuribee
Dalam kuta gle yang that meusigak, Ateuh seulambak le that guree
Kafe dum jiplueng keudeh u laot/ Geulet di likot meuree-ree"
Itu sepenggal syair Aceh tentang kisah Kuta Gle.

📜SEJARAH TEUNGKU SYIK DI KUTA GLEE SANG
ULAMA PEJUANG .📜
------------------

NAMA ASLI TGK. DI KUTA GLEE ADALAH :
TGK HAJI SYEKH ABDURRACHIM,
IBNU TGK HAJI HASAN,
IBNU TGK. HAJI TAM,
IBNU TGK TUHA,.
berasal dari Aceh Besar. Mula-mula datang ke SAMALANGA, BERTEMPAT tinggal di KAMPUNG KIRAN.

SEBELUM BERKELUARGA, BELIAU MENGAJI PADA SEORANG ULAMA
DI ACEH BESAR.
Pulang dari Aceh Besar, beliau menunaikan ibadah haji di Mekkah.
Sekembalinya dari Mekkah, beliau mengajar di DAYAH MEUNASAH MESJID BATEE ILIEK.

⚔️PEMIMPIN PERANG 🗡️🇹🇷

Sejak tentara Belanda merebut Kraton Aceh pada 24 Januari 1874, Belanda terus bergerak. Pada awal tahun 1877, Belanda mengadakan rencana perang untuk menyerang daratan Samalanga di bawah pimpinan Kolonel Karel van der Heyden.

Pejuang di Samalanga telah mengetahui rencana Belanda itu. Maka para pejuang telah bersiap-siap dan waspada. Kubu-kubu pertahanan di sepanjang tepi pantai telah merupai bendungan dari tanah dibuat untuk pertahanan memanjang dari Timur ke Barat mulai dari Peuneulet, KUALA TAMBUE sampai ke KIRAN.

Pada 9 Agustus 1877, pasukan Belanda yang diangkut dengan 12 kapal terdiri dari kapal perang dan pengangkut telah mendarat di Samalanga di bawah pimpinan Kolonel Karel van der Heyden. Tanpa menunggu lagi, pasukan pejuang TGK DI PULO BAROH mulai 14 Agustus mengadakan pernyerangan ke bivak-bivak tentara Belanda.

Pada 26 Agustus, benteng Kuta Ceukook jatuh ke tangan tentara Belanda dan pasukan pejuang Aceh bertahan di benteng BLANG TOMULOK.

Dengan kekuatan 2 batalyon di bawah pimpinan van der Hayden, tentara Belanda menyerang benteng tersebut habis-habisan. Tapi malang baginya, mata kiri van der Hayden kena peluru pejuang Aceh dan ia menderita buta.

Maka pada 1 September 1877,
dia dibawa ke Kutaradja
(Banda Aceh sekarang) meninggalkan serdadu-serdadu yang mati termasuk seorang komandan batalyon Mayor PEJH. van Dompaler.

Tentera Belanda yang bergerak terus kemudian dapat menguasai PANTE RHENG.
Selama mereka berada di tempat itu, masyarakat dalam keadaan cemas akibat dari keganasan serdadu-serdadu yang di luar perikemanusian.

Maka Ulee Balang Negeri Samalanga bersama pemimpin-pemimpin masyarakat dan cerdik pandai mengatur siasat, mengadakan perundingan dengan pihak pimpinan tentara Belanda pada 13 September 1877.

Dalam kesempatan tersebut, seluruh pertahanan rakyat diperkuat termasuk benteng Kuta Glee yang dibuat sebagai INDUK PERTAHANAN dan DIPIMPIN LANGSUNG TGK HAJI SYEKH ABDURRACHIM.

Sedangkan yang lain-lain seperti :
BENTENG
kuta Jeumpa,
kuta Tgk Loeeng Keubeu,
Kuta Lhee Sagoe,
Kuta Cot Riwat,
Kuta Naleueng Sira,
Kuta Tgk. Di Lhok Kroeet,
Kuta Glee Gisa Punggoong,
Kuta Asam Kumbang.
dibuat sebagai benteng pembantu dan cadangan.

Di samping itu, pertahanan-pertahanan di luar Samalanga seperti Meureudu, Peudada dan Peusangan telah mempersatukan diri terpusat di BAWAH KOMANDO :
TGK DI KUTA GLEE.

Saat itu, kaum wanita di bawah pimpinan Pocut Meuligoe pesat mengadakan propaganda ke seluruh pelosok untuk memberikan semangat JIHAD kepada pejuang-pejuang Aceh. Karena beliau seorang wanita, maka kesempatannya untuk bergerak lebih leluasa.
Dengan demikian beliau mengkoordinir pertahanan-pertahanan  seluruh SAMALANGA.

Perjanjian penghentian tembak menembak tidak lama berlaku berhubung banyaknya tentara Belanda menjadi korban oleh serangan gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Maka pada 18 Juni 1880 oleh pimpinan tentara Belanda di Kutaradja dikirimlah tambahan pasukannya dan Major van Steenvelt.
Sejak itu, berlaku kembali pertempuran-pertempuran
di sekitar Kuta Glee dengan mengalami kekalahan-kekalahan besar di pihak Belanda.

Pada 5 Juli, tentara Belanda melancarkan serangan ke Kuta Glee dan disambut oleh gerilyawan Aceh dengan sengitnya. Karena musuh menyebrangi suangi sebelah Barat benteng, gerilyawan-gerilyawan Aceh sangat mudah memusnahkan mereka hingga banyak serdadu-serdadu Belanda yang tewas.

Di antaranya Komandan Kompi Letnan Verkuiyl. Karena itu, mereka mundur lagi ke posnya.

Keesokan harinya, pasukan Belanda bergerak untuk kedua kalinya, tetapi menemui nasib yang sama (gagal lagi). Berita-berita kegagalan ini segera diketahui di Kutaradja.

Maka pada 1 Agustus 1880,
van der Heyden yang telah naik pangkat menjadi Mayor Jenderal berangkat lagi ke Samalanga untuk menyerang KUTA GLEE dengan membawa juga meriam-meriam kaliber 12 cm.

Penyerangan yang ketiga kali ini ke Kuta Glee didahului dengan tembakan-tembakan meriam atas kubu-kubu pertahanan.
Setelah tembakan-tembakan dihentikan, tentara Belanda menyerbu benteng Kuta Glee, juga melalui sungai yang berada di sebelah Barat benteng.

Penyerbuan tersebut disambut oleh pejuang Aceh dengan mendahului  semprotan AIR CABE sehingga banyak serdadu Belanda yang kewalahan.

Pada kesempatan itu, mereka yang berada dalam sungai dicincang dengan klewang dan senjata tajam lainnya.
Dan yang sedang mendaki bukit menuju ke benteng dibunuh dengan menggulingkan pohon-pohon kelapa dan batu-batu besar yang telah dipersiapkan, sehingga menyebabkan air sungai Samalanga menjadi kemerahan sampai ke muara pada saat pertempuran itu.

Melihat kondisi itu, Mayor Jenderal Karel van der Hayden yang BERMACAM SATU, memerintahkan sisa serdadunya untuk mundur kembali ke tangsi Samalanga, yang berarti kegagalan yang ketiga kalinya bagi tentara Belanda.

Sejak itu, Belanda menghentikan serangannya ke Kuta Glee dan akibat kegagalan yang bertubi-tubi dalam tahun l881, Jenderal van der Hayden diganti dengan Mayor Jenderal H. Demini.

Jenderal ini tidak dapat melakukan gerakan ke luar, karena situasi di Aceh Besar memaksa tentara Belanda harus dikonsentrasikan di Kutaradja. Bahkan dalam tahun 1885, seluruh pasukan yang berada di daratan Samalanga ditarik kembali ke Kutaradja.

Demikianlah tahun berganti tahun, pimpinan tentara Belanda ganti berganti di Kutaradja, maka pada 1898 Mayor Jenderal J.B. van Heutsz menjadi pimpinan tertinggi di Aceh.

Dalam masa van Heutzs itu banyak sekali benteng-benteng di daerah Pidie yang direbutnya, bahkan sampai ke Meureudu yang sangat dekat dengan Kuta Glee.

Dalam bulan Oktober 1900,
van Heutsz mengirim pasukan-pasukan pengintai di antaranya ke Glee Nanggroe untuk penempatan meriam-meriam kaliber 10,5 cm. Kemudian direncanakan penyerangan-penyerangan ke Kuta Glee.

Pada 20 Januari 1901 benteng Kuta Glee ditembaki dari laut (kapal perang di KUALA KIRAN, KUALA TAMBUE dan KUALA SAMALANGA.

Sedang dari darat penembakan-penembakan dari Glee Nanggroe kemudian dari Glee Gisa Punggoong.
Tetapi pejuang-pejuang Aceh sedikit pun tidak gentar, bahkan bertekad untuk syahid.

Pada 3 Pebruari 1901, van Heutsz yang telah naik pangkat menjadi Letnan Jenderal mulai menyerang seluruh benteng yang berada di sekitar Kuta Glee di bawah pimpinannya sendiri, terdiri atas pasukan-pasukan yang sangat besar jumlahnya dan mempunyai senjata modern Yaitu :
3 BATALYON INFANTERI,
4 KOMPI MARSASE :
1 KOMPI MARINIR,
1 KOMPI KAVALERI (berkuda),
1 KOMPI ARTELERI
(inklusip pasukan mortir),
1 KOMPI VESTING ARTELERI,
1 DATASEMEN MARINE ARTELERI, kesatuan-kesatuan administrasi dan orang-orang hukuman.

Pada hari tersebut setelah lebih dahulu dihujani dengan meriam-meriam di laut dan dari darat tentera Belanda merebut lebih dahulu benteng-benteng pembantu dan cadangan.

Setelah itu semua dapat direbut mulailah serdadu-serdadu yang sangat besar jumlahnya itu menyerbu ke benteng induk yaitu KUTA GLEE yang pada hari itu dipertahankan oleh 71 orang termasuk TGK DI KUTA GLEE sendiri sebagai pucuk pimpinan.

Di luar benteng, perkelahian berlangsung sangat sengit. Pertarungan satu lawan satu. Tetapi karena jumlah yang sangat besar, akhirnya serdadu Belanda dengan pengorbanan yang besar dapat masuk ke dalam benteng yang setengah hancur itu.

Dalam pertempuran di dalam benteng itu banyak serdadu Belanda yang menjadi korban di antaranya ada juga yang jatuh di ujung pedang TGK DI KUTA GLEE. Akan tetapi, takdir tidak dapat DISANGKAL.

SAAT TGK DI KUTA GLEE BERDUEL dengan seorang tentara Belanda, peluru dari senapan Komandan Kompi Belanda (Letnan Gessler Vershuiyr) MENYEBABKAN TGK DI KUTA GLEE jatuh sebagai SYUHADA. Kemudian seluruh pejuang yang berjumlah 71 orang semuanya jatuh sebagai SYUHADA pada waktu itu juga.

Selama pertempuran berlangsung di luar dan dalam benteng, Jenderal JB.
van Heutzs berada pada djarak kira-kira 800 meter sebelah Timur laut benteng yaitu di bekas Kuta Jeumpa yang direbutnya.
Di tempat ini kemudian oleh Pemerintah Belanda didirikan monumen dari batu marmer yang dinamakan “VAN HEUTZS BANK”.

Setelah 3 jam benteng Kuta Glee jatuh, barulah van Heutzs masuk ke dalam benteng yang telah hancur itu dan menurut keterangan ia terlebih dahulu memberi salam/hormat kepada syuhada yang telah gugur atas keberaniannya yang luar biasa itu.

Pada hari itu juga mayat serdadu Belanda diangkat dan keesokan harinya (4 Pebruari 1901), dikuburkan di Meunasah Lueng Samalanga.

Sedangkan 71 SYUHADA yang berada dalam benteng dimakamkan dalam BENTENG KUTA GLEE sebagai tempat peristirahatan yang tidak pernah dilupakan oleh generasi sesudahnya.
Dan pahlawannya TGK HAJI SYEKH ABDURRACHIM sampai sekarang disebut :
TEUNGKU DI KUTA GLEE”.

TENTARA BELANDA JUGA SELALU MENYEBUT BENTENG
ITU SEBAGAI BENTENG YANG SANGAT PAHIT DIALAMINYA,
YANG SERING DISEBUT :
“Het echec van SAMALANGA”.

‌SUMBER : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=4767496069942819&id=100000474197041
“Riwajat hidup (singkat) beberapa orang pahlawan ATJEH ZAMAN PRA-KEMERDEKAAN”.
Teks asli SEJARAH PERJUANGAN
TGK DI KUTA GLEE, itu ditulis dalam bahasa Melayu ejaan lama.

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah,,," 4 Jenderal Belanda yang Tewas Selama Perang Aceh"

‌11 Fakta Teungku Abdullah Syafi'i, Sang Panglima GAM Paling Dihormati yang Meninggal Bersama Sang Istri

KISAH TEUNGKU CHIK DI AWE GEUTAH PEUSANGAN BIREUEN ACEH