BUKTI SEJARAH TENTANG KERAJAAN JEUMPA

 

 Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini  masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim  maupun non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini  didasarkan pada teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai  teori Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3  kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan  (iii) Teori Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini untuk membahas  teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis  lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih  mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah  (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan  terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini  adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN.  Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka.i

Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam  ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal  Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat  catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka  terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin  bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada  akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi  pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka  bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian  membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga  melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan  kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi  komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga  menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski  interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan  faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer  memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah  pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander  memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Sementara  cendekiawan senior Nusantara, SMN. Al-Attas menolak temuan epigrafis  yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik  tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari  Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding  dengan Arabia. Al-Attas menyebutkan bahwa bukti paling penting yang  perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah  karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu.ii

Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang  relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang  yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau  Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal  dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar  pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab  atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India,  tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil,  dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan  mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan  India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari  mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri  tegas Arab.iii

Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan  historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat  Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan  interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia.iv

Hamka dalam pidatonya di acara Dies Natalis Perguruan  Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958,  melakukan koreksi terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah”  yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya  Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya  Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan  yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan  berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan  bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat hanyalah  merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir  sebagai tempat pengambilan ajaran. Hamka menekankan pengamatannya kepada  masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh  besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari  para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan  kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap  masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka,  juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam  sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII.v

Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan  Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat  tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.  Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum  Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak  dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila  dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind  (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk  wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold,  tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan  Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti  disebutkan Arnold dan Van Leur.vi

Berdasarkan Teori Mekkah inilah kemudian, para ahli sejarah Islam  menyimpulkan bahwa Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan  Perlak. Di antaranya adalah sebagaimana dikemukakan pakar sejarah  peradaban Islam asal Aceh, Prof. A. Hasymi. Berdasarkan naskah Idhar al-haqq fi Mamlakat Ferlah wal Fasi, karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi, Tazkirat Tabaqat Jumu Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah Al-Asyi, dan Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai, A. Hasymi menyatakan bahwa Kerajaan Perlak, Aceh adalah  kerajaan Islam pertama di Nusantara yang didirikan pada tanggal 1  Muharam 225 H (840 M) dengan raja pertamanya Sultan Alaudin Sayyid  Maulana Abdil Aziz Syah. Teori ini kemudian banyak didukung oleh  cendekiawan Nusantara dan dimasukkan dalam buku teks pengajaran  Perguruan Tinggi.vii

Identifikasi Masalah

Teori yang dikemukakan A. Hasymi dan para pendukungnya sampai saat  ini tentang Kerajaan Perlak sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara  hanya didasarkan pada sumber-sumber literatur yang sangat terbatas.  Terutama sumber-sumber yang ditulis oleh para pakar sejarah Islam tanpa  melibatkan pakar-pakar lintas pengetahuan yang telah mengadakan  penelitian masalah tersebut atau yang berhubungan dengannya dengan  berbagai pendekatan, baik secara geografis, antropologis, sosiologis,  etimologis, dan bidang-bidang keilmuan lainnya yang telah berkembang  dengan pesatnya saat ini.

Sebagai sebuah teori yang dikemukakan pada zamannya, maka pendapat  A.Hasymi dengan para pendukungnya tidak dapat disalahkan, mengingat  sangat terbatasnya referensi pada zaman beliau. Demikian juga akibat  menurun drastisnya minat intelektualisme terhadap kajian-kajian tentang  Islam di Aceh menyusul keadaan konflik yang berkepanjangan. Bahkan tidak  sedikit para cendekiawan Muslim yang tengah mengadakan penelitian  tentang keislaman di sekitar Aceh dicurigai oleh aparat keamanan dengan  berbagai alasan yang dicari-cari, seperti apa yang diceritakan Prof.  Hasbi yang hanya mengadakan penelitian tentang dayah, harus berhadapan  dengan aparat. Apalagi sejak Aceh bergolak, para peneliti asing sangat  dibatasi kegiatannya di Aceh yang telah mengakibatkan mundurnya  penelitian ilmiyah dalam segala bidang, termasuk tentang sejarah Islam  di Aceh.

Bersamaan dengan perkembangan zaman, terutama kemajuan teknologi,  teori-teori tentang sejarah akan terus berkembang, sebagaimana  teori-teori pengetahuan lainnya dengan ditemukannya teori-teori baru  yang didukung oleh argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara  ilmiyah. Sebagaimana halnya teori-teori tentang masuknya Islam ke  Nusantara terdahulu yang terus menerus dikoreksi dari Teori Gujarat  dikoreksi Teori Persia dan terakhir dikoreksi dengan Teori Mekah atau  Arab. Maka dengan ditemukannya data-data terbaru yang lebih akurat,  berdasarkan kajian dari berbagai sumber bidang ilmu pengetahuan, maka  teori tentang Kerajaan Islam pertama di Nusantara perlu dipertanyakan  lagi keabsahannya. Apakah memang Kerajaan Perlak yang didikan oleh  Maulana Abdul Aziz pada tahun 804 adalah kerajaan Islam pertama di  Nusantara.

Tujuan Dan Metodologi

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui sejauh mana keabsahan  dari teori yang telah dikemukakan oleh A. Hasymi dan para pendukungnya  yang menyatakan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah  Kerajaan Perlak yang didirikan oleh Maulana Abdul Aziz pada tahun 840  Masehi yang terletak kini di sekitar kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh  Timur, Nanggroe Aceh Darussalam.

Dengan menggunakan metodologi deskriptif-analisis, yang menggabungkan  beberapa penelitian dan analisis terkini, berdasarkan pengetahuan  lintas bidang, seperti pengetahuan geografi, antropologi, sosiologi,  etimologi dan lainnya diadakan sebuah sintesa baru yang diharapkan  melahirkan sebuah teori baru dalam bidang sejarah perkembangan Islam di  Nusantara. Dengan mengolah data-data dari sumber primer dan sekunder,  melalui penelahaan beberapa referensi terkait yang ditindaklanjuti  dengan survei lapangan, diharapkan dapat ditemukan sebuah kesimpulan  awal yang akan dipertanggungjawabkan secara ilmiyah.

Studi Terhadap Beberapa Teori Berkaitan Kerajaan Islam Pertama Di Nusantara

Sebagaimana lazimnya pengembangan pengetahuan ilmiyah, teori baru  biasanya lahir berdasarkan teori-teori yang telah dikembangkan terlebih  dahulu oleh para cendekiawan dengan dalil-dalil yang dapat  dipertanggungjawabkan. Maka dalam membahas permasalahan yang sedang  diteliti, akan dikemukakan beberapa teori yang sudah umum dikenal  sebagai dasar dalam mengembangkan sebuah teori tentang kerajaan Islam  pertama di Nusantara. Diantaranya adalah :

1. Teori Hubungan Dagang Arab-Cina

Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua  Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam  karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk  dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak  Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica)  yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah  menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur,  tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi. Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja),  fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420  talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya.  Emas didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).  Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak  ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di  Sumatera. Kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur  Jauh. Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan  informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak  petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera  dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King Solomon.viii

Sementara perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah  dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur  darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai  dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah.  Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa,  merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum  Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung)  dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah  dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang  melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut  Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah  Masehi.ix

Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur  perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi  perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin  ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar  mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan  angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra  telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya,  pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan  pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka,  maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung  utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di  antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota  pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah  memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta  sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau  kota perdagangan.x

Peter Bellwood dalam Reader in Archaeology Australia  National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di  Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang  menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan  utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina.  Dia menulis “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM),  berada dalam koleksi pribadi di London....”. Sifat perdagangan pada  zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut  campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan  dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha  Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun  607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi,  “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah  berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.xi

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan  Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan  Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang  terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari  wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan  bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara  saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra telah  menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke  negeri Cina sejak abad kelima Masehi,” xii

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang  seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun  setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun  setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.  Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang  pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah  menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera.  Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah  pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA  juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para  pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.xiii

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih,  sebutan untuk orang Aceh, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah.  Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim  oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.  Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka  telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti  kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa  kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Para pengembara  Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus  menjelajah sampai di Timur Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa  punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari  Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas  yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim  yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri  Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa  perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.xiv

Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat, misalnya menurut  laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta  Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri  Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak). xv

2. Teori Barus-Fansur Aceh

Barus-Fansur adalah tempat yang dikaitkan dengan penghasil kayu  kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab)  terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai  buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora,  merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang  harum. Masyarakat pra-Islam telah mengenal kafur yang masyhur itu, hal  ini dibuktikan dengan penemuan penggunaan kata kafur yang disebut  berkali-kali dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya Nabi Muhammad  SAW.xvi

Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir (wafat tahun 1233 M),  dan Ibn al-Baladuri (wafat tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16  H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon,  orang-orang Arab menemukan kamper/kafur yang dikira garam di antara  rempah-rempah dan wangi-wangian.xvii

Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli biobibliografi dan  ilmu kedokteran dari Andalusia, mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan  obat-obatan baru yang belum dikenal sebelumnya sebagai obat, kecuali  hanya pewangian dan alat-alat ritual semata di agama-agama paganisme.  Ibn Sarabiyun pada abad ke-10 juga mulai memperkenalkan zat yang sangat  ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip Ishaq ibn Imran yang hidup awal  abad ke-9 M juga melakukan hal yang sama. Ketiganya melalui serangkaian  eksperimen yang dilakukan berhasil menjelaskan berbagai fungsi dan  kegunaan kafur dengan berbagai campuran untuk khasiat yang berbeda-beda.  Fungsinya dalam berbagai bentuk olahan diantaranya adalah, sebagai  balsem, penghobatan kandung empedu, radang hati, demam tinggi, berbagai  penyakit mata, sakit kepala akibat liver, memperkuat organ dan indra,  mengontrol syaraf, pembiusan alami, pendarahan, menguatkan gigi, dan  lain-lain.

Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan  kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat  wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari  lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur  yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada  zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang  menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas  perjamuan makan.

Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena,  dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan  obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer  sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer  juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat  diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena menulis: "Jika  kafur dipakai sedikit, maka obat ini dapat membantu menenangkan, karena  bahan ini dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu badan yang tinggi  akibat badan kurang sehat karena lemah. Efek yang menguatkan dan  menenangkan ini disertai efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi  dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya dikurangi dengan minyak  wangi dan pelunaknya, misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga berwarna  ungu lembayung. Kafur merupakan penangkal racun, khususnya racun panas.  Berkat kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh karena itu  kafur menguatkan dan menyenangkan. Efeknya serupa ambar kuning, tetapi  lebih kuat dan lebih bermanfaat."xviii

Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga berdatangan untuk  meneliti kegunaan kafur dari Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu  kedokteran yang ditulis dalam bahasa Persia adalah buku Muwaffak al-Din  Abu Mansur Ali al-Harawi (abad ke-10 M), yang berjudul Kitab al-Abniya  'an haqa'iq al-Adwiya [Buku mengenai dasar dan kebenaran obat-obatan  asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat al-muta'alimin fi al-tibb  (Panduan untuk mahasiswa ilmu kedokteran), al-Bukhori (abad ke-10)  seorang mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad ke-9 dan 10  M) berhasil mengembangkan kafur dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31  resep. Salah satunya adalah dalam penanggulanagn penularan penyakit  pes.

Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens dalam  pengembangan ilmu kedokteran. Salah satu buku yang berhasil ditemukan  seperti catatan Actius dari Amide dari abad ke-6 dan ke-7 M, menyebutkan  kafur dalam karyanya Libri Medicinales.

Salah satu surat pertama dari riga surat karya al-Kind yang berjudul  al-rasail al-hikmiyya fi asrul al-ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum  tentang Rahasia-Rahasia Batin], dikatakan bahwa kafur milik Devi Venus  dan digunakan dalam pengasapan yang dipersembahkan kepadanya. "Allah  Yang Maha Kuasa telah menciptakan Venus dari cahaya dan kecerahan; Venus  memberi kebaikan dalam semua posisinya … di antaranya batu maha yang  dimilikinya; dalam badan manusia, perut dan usus yang dimilikinya; dalam  abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan kaf); di antara bahan  murni untuk pengasapan yang dimilikinya terdapat: ambar abu-abu, qust,  tanaman fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum."xix

Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu Malam) oleh  Sindbad, sang petualang yang terkenal: "Sesudah bangun keesokan harinya,  kami pergi melewati gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang kaya dengan  pohon kafur. Setiap pohon dapat membayangi lebih dari  100 orang. Puncak pohonnya ditoreh dan air yang mengalir darinya dapat  mengisi beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan tetesannya mirip lem.  Sesuadah itu kafur tidak meleleh lagi dan pohonnya menjadi kering." Riha  adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti al-Kafur  al-Fansuri. Jadi Pulau Riha yang dimaksud adalah daerah Fansur.

Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum  dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya  sangat tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan  Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan  Persia menjadi acuan dunia.

Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus  mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan  kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9,  seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di  belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat  ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar  yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri  ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang tinggi,"xx

Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni  (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak  berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua  lautan..Harkand dan dan Salahit". Nama Ramni atau Ram(n)I,  kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau  Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka).xxi

Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."xxii

Pada tahun 943, Masudi mencatat: “Kira-kira seribu parasangs (dari  Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni)  yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan  tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi.xxiii

'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M,  menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad  melaporkan: ”Di Pulau Lamuri terdapat zarafa yang tingginya tidak  terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena  mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat  semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ”....  "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this  with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141)  terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini  mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri." xxiv

Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih  lanjut. Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut  juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325 dalam buku  Cowan,"Lamuri," hal. 421.

Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam  transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola,  dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam perang"  disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target  penggempuran mereka pada tahun 1025.xxv

Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178,  nama Lan-li dimana kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering  merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar  menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India.xxvi

Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut  Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan  Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.),  gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering  menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar  selama dua puluh hari ke Silan…."xxvii

Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei:

”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat  jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran  langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka  akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana  mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan  kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam  puluh hari untuk melanjutkan perjalanan.xxviii

Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292,  menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama  lima kerajaan kafir lainnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah  berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga  memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga  tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di  China.xxix

Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310  menulis bahwa para saudagar dari berbagai negara sering datang ke  Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan  bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di mana para saudagar dari  negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga  tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara.xxx

Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li,  yang katanya: ”Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat  penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat  dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat  diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit,  setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki  dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun  membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus  sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya  sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti  orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang  burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat  bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini  adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur, porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain.”xxxi

Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit.xxxii

Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan  Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda  Cheng Ho: ”Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya  terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat  jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri  bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika  anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan  pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama  Pulau Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur  Laut Aceh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang  terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam  sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau  Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu.xxxiii

Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak di arah laut  Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam,  yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan  Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini  namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang  datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat  pegunungan ini sebagai petunjuk arah. Di laut yang dangkal, sekitar dua  cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk  di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga.  Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan  Nan-po-li.xxxiv

Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat  mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara  pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di  bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar terletak  antara Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada  Aceh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja  satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…".xxxv

Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya  ditujukan kepada seluruh pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di  atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada  pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar.  Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17  dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat  sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri".xxxvi

Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di  Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro  dekat banda Aceh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus.  Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran  kuno karena eratnya kedua kota ini. Sementara Chia Tan yang menulis buku  pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah  yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan  tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari  Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.xxxvii

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus,  salah seorang ahli Georafi dan Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di  Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa  di pesisir barat Sumatera yang menjadi jalan ke Tiongkok terdapat sebuah  bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk  dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak  Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu.xxxviii

3. Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an

Hubungan erat Aceh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri  dari beberapa kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an  adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw  melalui perantaraan malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi  Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10 Hijriah.  Sampai saat ini tidak ada satupun manusia yang dapat menyanggah bahwa  al-Qur’an dengan segala kemukjizatannya bukan berasal dari Allah Sang  Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf seperti Nabi  Muhammad dapat menbuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab  tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung  sekalipun. Karena al-Qur’an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum,  undang-undang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan  dengan untaian indah. Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan  keindahan al-Qur’an. Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an  diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri.  Namun bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah  melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga  berpendapat ada beberapa kata al-Qur’an yang bukan berasal dari bahasa  Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak digunakan dan  dimengerti oleh masyarakat Arab.xxxix

Salah satu bahasa Aceh-Melayu yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur. Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu adalah wilayah  yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang sekarang berada di  wilayah Aceh. Bahkan dalam teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil  tentang Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-Aceh.

Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur.  Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn. Abbas,  Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat  membuat tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang  menyebutkan sebagai nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih  banyak dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah umum sebagai bahan  obat-obatan, wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam  seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat  bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn  Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa  Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan demikian, tidak  diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan al-Qur’an adalah kapur dari  Barus sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .

Kata "kafur", menurut Karel Steenbrink, secara pasti bukan istilah  Arab. Akar kata "kafara" bisa berarti menghindari atau tidak berterima  kasih. Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus atau kamper,  berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink menyimpulkan bahwa kata "kafur"  bukan hanya penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan Nusantara,  tetapi juga komoditi yang sejak abad ke-7 telah dibawa oleh pedagang  Muslim dari Nusantara.xl

4. Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles

Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan  bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia  sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa  adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama  ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”,  karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan  mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan  Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di  sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh. xli

”Champa” biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada  zaman kerajaan Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Prabu  Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan ”Puteri  Champa” sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, yang nama lainnya Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Puteri  inilah menyerahkan pendidikan Raden Fatah kepada seorang keponakannya  yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya.  Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam  Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah  Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit.xlii

Banyak ahli sejarah yang konfius dengan ”Champa”, yang pada akhirnya  menimbulkan kegelapan dan kerancuan luar biasa pada sejarah Islam  Nusantara. Kekaburan ini umumnya disebabkan para ahli hanya mengutip  mendapat-pendapat yang sudah ada tanpa mengadakan pengkajian lebih dalam  dan lebih mendetil dari berbagai aspek. Kemalasan intelektual ini hanya  memahami Champa sebagai sebuah kata yang sudah bercampur dengan  berbagai mitos, legenda dan cerita masyarakat yang tidak berdasarkan  fakta ilmiyah. Bukan Champa sebagai sebuah realitas sejarah berdasarkan  penelitian sejarah berbagai aspek yang berkaitan dengannya.

Mari kita peras sedikit logika kita untuk mengungkap  kegelapan Champa yang sudah berabad-abad dipercayai sebagai kebenaran  sejarah. Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada  Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392.xliii  Untuk memastikan dimanakah Champa yang telah ditinggali Maulana Malik  dan saudara iparnya ”Putri Champa”, maka perlu diselidiki bagaimanakah  keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Aceh maupun Kambodia.

Menurut beberapa catatan, Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah)  seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja  ini Muslim atau Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia masa ini  dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya. Beliau berhasil menyatukan dan  mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada  tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil  memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir  tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri  Dinasti Ho . Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak  banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak  didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan  para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.xliv

Sementara menurut catatan sejarah, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M. Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) ibni  Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal  Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi  ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad  Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi  ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni  Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW. Jadi beliau adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief  Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang  dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni  Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.xlv

Pertanyaannya, kapan dan dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang  dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Sayyid Ibrahim,  yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan  fakta di atas, mustahil mertua Maulana Sayyid Ibrahim atau ayah ”Puteri  Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan  tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Sayyid  Ibrahim yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan  Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius  itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan  Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah  perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?. Inipun masih  menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang  mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand  berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman  dahulu.xlvi

Untuk mendukung Teori Raffles bahwa Champa yang dimaksud  bukan di Vietnam sekarang, tetapi di wilayah Jeumpa Bireuen Aceh, ada  beberapa dalil yang dapat dikemukakan, antara lain;

(i) Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah  mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya  menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Aceh, kemudian belayar ke Semarang  dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya  melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.”  (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke  Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Sayyid Ibrahim) ditinggalkan di Aceh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis,  lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di  Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Jadi tidak diragukan  bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Ibrahim, Saiyid Jamaluddin  yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas  ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau  Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di  Aceh dan tentu menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai ”Puteri  Raja Champa”.

(ii) Keadaan Champa Kambodia ketika zaman Maulana Malik  Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim  yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya  pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana  disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan  Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi  jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur  dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat  pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana  dari seluruh penjuru dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang  sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya  berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain,  sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.xlvii Dan  Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada  zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.xlviii.

(iii) Populeritas Jeumpa di Nusantara, yang dihubungkan  dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan  antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Aceh terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan  Jeumpa di Aceh yang sampai saat ini masih menyisakan kecantikan  puteri-puterinya, gadis Bireuen. Pada masa kegemilangan Pasai, istilah  puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Cempa”) sangat populer, mengingat  sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan  kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa  Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri  Jeumpa lainnya,Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang  Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan  Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far  Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan  Islam Perlak. Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak,  Pasai sampai Aceh Darussalam. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri  Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak,  Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja  Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari  Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok  kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang  bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai.  Dikisahkan Sang Prabu meminta agar Puteri Jeumpa bersedia menjadi  Permaisurinya dan menikahlah mereka.

(iv) Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip  dengan Cina, kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang Kelantan  sekarang, sementara bahasanya susah dimengerti karena dialeknya berbeda  dengan rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar  Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana Malik  Ibrahim, Raden Rahmat ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya  jarang adanya dan tidak seperti rata-rata orang Perlak, Pasai, Jeumpa  ataupun umumnya orang Aceh yang lebih mirip ke wajah Arab, India atau  Parsia. Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmat  memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa Melayu  Sumatera yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, Barus,  Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip agama  yang dikarang para Ulama terkemudian seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin  al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Raja Ali Haji dan lainnya.

(v) Sejarah pergerakan dakwah Islamiyah Nusantara abad ke  IX-XV Masehi, sebagaimana yang disepakati para ahli sejarah Islam  Nusantara, tidak pernah menyebutkan berpusat di sekitar daerah Vietnam  atau Indo-China sekarang, namun sebaliknya tercatat berpusat diantara Perlak, Pasai, Malaka, Lamuri, Barus, ataupun Fansur di wilayah Aceh, yang di tengah-tengahnya terdapat Jeumpa,  yang menjadi laluan dan tempat persinggahan yang banyak menyisakan  kegemilang Islam.

Sumber: Facebook

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah,,," 4 Jenderal Belanda yang Tewas Selama Perang Aceh"

‌11 Fakta Teungku Abdullah Syafi'i, Sang Panglima GAM Paling Dihormati yang Meninggal Bersama Sang Istri

KISAH TEUNGKU CHIK DI AWE GEUTAH PEUSANGAN BIREUEN ACEH